<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d28922767\x26blogName\x3dOrang+Indonesia\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLACK\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://yamadhipati.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://yamadhipati.blogspot.com/\x26vt\x3d-7363143692875508944', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Sunday, October 05, 2008

Pluralisme: Harmoni Dalam Keberagaman *

Pluralis sebagai sebuah sikap adalah memiliki kesadaran bahwa dunia ini tercipta dengan berbagai warna. Kesadaran bahwa isi kepala bermilyar manusia di bumi ini tidak mungkin dirangkai paksa menjadi sebentuk kesepakatan tunggal. Sebuah sikap yang pada gilirannya akan mewujud sebagai toleransi. Pluralisme dalam kehidupan sosial adalah sebuah masyarakat yang mewadahi berbagai macam etnis, ras, agama dan kelompok yang masing-masing memiliki hak mempraktekkan dan mengembangkan kultur tradisional dan keyakinannya dalam bingkai peradaban (within the confines of a common civilization ).

Namun dalam perkembangannya, religious pluralism tidak hanya berarti sikap toleransi antar umat beragama. Pluralisme lebih dari sekedar menerima keberagaman (diversity). Toleransi dianggap sebagai kebaikan yang menipu (deceptive virtue). Bahkan toleransi sering menjadi penghalang bagi pluralisme yang sesungguhnya ( Diana L. Eck: The Challenge of Pluralism). Pluralisme menghendaki semacam “peleburan” , sebuah pertemuan yang sejati dan interrelasi yang kemudian membentuk wajah baru dari realitas keberagamaan yang plural ( Diana L. Eck: From Diversity to Pluralism ).

Ini berarti setiap individu dituntut untuk berani mempertanyakan keimanan masing-masing dan membuka diri terhadap kemungkinan kebenaran yang datang dari fihak lain karena setiap agama mengandung porsi kebenaran. Ulama semisal John Hick meyakini bahwa ada perbedaan antara entitas kebenaran hakiki dan persepsi atas kebenaran tersebut. Sesuatu bisa bersifat benar secara mutlak pada dirinya (in itself) namun dalam domain persepsi manusia, kebenaran sesuatu tersebut hanyalah bersifat relatif. Oleh karenanya bisa dikatakan bahwa manusia tidak pernah mampu memahami Tuhan, apa yang difahami manusia mengenai tuhan hanyalah persepsi dan bersifat relatif (John Hick: An Interpretation of Religion).

Dengan menganut pandangan dualistik Kant semacam ini Hick menganggap tidak ada manusia yang mengetahui kebenaran mutlak. Oleh karenanya tidak ada penganut agama apapun yang memiliki iman paling benar. Karena tidak mungkin bagi seorang pemeluk agama tertentu sampai kepada kebenaran mutlak, maka seyogyanya ia bersedia berdialog dengan pemeluk agama lain dan mengambil kebenaran darinya. Dengan kesadaran semacam ini diharapkan akan lahir sebuah mutual understanding dan interrelasi dari para penganut agama yang berbeda yang pada akhirnya menciptakan sebuah keharmonisan.

Pluralisme agama dalam artian inilah barangkali yang ditolak oleh MUI. Pemahaman semacam ini akan mengaburkan nilai-nilai dan ajaran setiap agama. Merendahkan kesucian agama dan memperlakukannya seolah-olah ia hanyalah sebuah ajaran filsafat atau produk riset ilmiah yang sewaktu-waktu bisa batal jika ilmuwan lain menemukan bukti-bukti baru yang bertentangan dengannnya.

Beberapa intelektual muslim berusaha membela pemahaman ala Hick ini dengan mencarikannya dalil-dalil dari kitab suci. Diantara argumen yang digunakan mereka adalah bahwa kata Islam dalam Al Quran haruslah difahami sebagai kata kerja, bukan sebagai kata benda yang menunjuk (to designate) pada sebuah nama agama; yaitu agama Islam seperti yang kita ketahui. Kata Islam dalam surat Al Baqoroh ayat 257 tersebut harus difahami sebagai sebuah tindakan dan sikap menyerah diri (the act of submission).

Dalam pandangan mereka, pesan tuhan yang sebenarnya dan yang menjamin keselamatan ( salvation) manusia di akhirat adalah penyerahan diri terhadap tuhan ini. Tidak penting apakah penyerahan diri ini mengambil bentuk sebagai ajaran Musa, Isa, Ibrahim, Muhammad atau nabi-nabi yang lain (Sayyid Muhammad Rizvi dalam pengantar Islam and Religious Pluralism).




Sebagian penggiat pluralisme dari kalangan Islam terjebak dalam pembahasan “Divine Justice”. Untuk mendorong sikap toleransi dan pluralisme religius mereka mengemukakan pemikiran bahwa semua kelompok masyarakat dengan beragam agamanya yang mengajarkan kebaikan haruslah meraih keselamatan di hari kemudian atas dasar keadilan tuhan. Oleh karenanya semua umat beragama adalah saudara dan menyembah tuhan yang sama. Ritual dan teknis penyembahan yang berbeda tidak menjadikan masing-masing sebagai kafir dan tersesat.

Pertanyaan mengenai apakah kebajikan yang dilakukan oleh non-muslim diterima oleh tuhan menjadi perbincangan serius di kalangan mereka. Kalau diterima, lalu apa bedanya dengan muslim. Kalau tidak diterima berarti tidak ada salahnya bagi mereka untuk tidak melakukan kebajikan. Tapi kalau tidak diterima dan tiada pahala bagi mereka, lalu di mana keadilan tuhan?

Ayatullah Murtadha Mutahhari, salah seorang ulama besar Iran yang jernih menanggapi pertanyaan semacam ini dengan mengatakan bahwa keselamatan dan nasib setiap individu ada pada tangan tuhan. Keadilan tuhan adalah sesuatu yang harus kita imani, dan bahwa kasih sayang tuhan mendahului murkanya (His mercy precedes His anger). Manusia tidak memiliki wewenang apapun untuk menghakimi bahwa seseorang atau suatu kelompok manusia akan masuk neraka atau surga. Kewajiban kita adalah berbuat baik sesuai yang diperintahkan dan menghargai kebaikan pemeluk agama apapun tanpa mempersoalkan diterima atau tidaknya suatu kebajikan oleh tuhan (Mutahhari: Islam And Religious Pluralism 2004).

Keselarasan bukan peleburan

Menciptakan keharmonisan antar pemeluk agama yang berbeda tidak meniscayakan sebuah peleburan teologi, atau dalam istilah Hick; teologi pluralis atau korelasional. Dialog antar iman haruslah bertujuan untuk saling memahami rasionalitas setiap ajaran agar bisa menghormati perbedaan persepsi masing-masing mengenai iman dan aktualisasinya -- betapapun absurdnya sebuah ajaran bagi penganut agama yang lain. Bukan untuk saling meminjam kebenaran. Ide tentang saling mengisi kebenaran dari kebenaran yang dikandung oleh ajaran lain justru merupakan sebuah usaha penyeragaman.

Al Quran 5:48 memberi petunjuk bahwa jika Allah berkehendak, maka Dia bisa menjadikan seluruh manusia ini satu umat yang seragam. Tapi Allah justru menentukan sebaliknya. Keberagaman dalam segala sisi kehidupan adalah sunnatullah. Termasuk dalam beragama. Nurcholish Madjid menyebut keberagaman semacam ini sebagai sebuah persoalan komunitas manusia, sebuah bentuk dari hukum tuhan (sunnatullah), dan menjadi hak prerogatif tuhan untuk mengetahui dan menjelaskan nanti di hari kemudian, mengapa orang-orang berbeda satu sama lain dalam berbagai hal (Nurcholish Madjid: Pluralisme Agama di Indonesia, Ulumul Quran No. 3 Vol. VI 1995).

Keinsyafan akan sunnatullah ini haruslah mendorong para pemeluk agama yang berbeda (terutama Islam) untuk selalu berlaku adil dalam memandang kelompok lain dan agamanya serta mampu menerima kenyataan pluralitas. Ini berarti bahwa setiap individu tetap meyakini kebenaran tertinggi ajaran agama yang dianut beserta konsep iman dan keselamatannya (salvation). Meskipun secara adil juga mampu melihat bahwa ajaran agama lain juga mengandung kebaikan dan kebenaran.

Dengan kata lain, religious pluralism haruslah dimaknai sebagai sebuah toleransi yang lahir dari saling memahami rasionalitas ajaran masing-masing agama serta keinsyafan dan kesadaran positif bahwa pluralitas adalah sebuah keniscayaan sunnatullah. Pluralisme adalah mampu menciptakan harmoni dalam keberagaman. Pluralisme mazhab inilah yan kita butuhkan di Indonesia. Pluralisme religius yang menghendaki “peleburan” dan “saling menyempurnakan” adalah absurd.


Mitos Bhinneka Tunggal Ika

Gelar sebagai bangsa yang santun, ramah, rukun, tepo seliro, penuh semangat gotong-royong dan saling menghormati serta seabrek pujian sebagai pemegang keluhuran nilai ketimuran yang adiluhung agaknya merupakan sebuah kemewahan yang tak lagi bisa kita nikmati (a luxury we can no longer indulge). Kekerasan dan kerusuhan dalam dasawarsa terakhir ini saja sudah cukup untuk menghancurkan mitos tentang Indonesia yang beradab.

Lalu, keluhuran budi pekerti dan mantra sakti Bhinneka Tunggal Ika yang selama ini kita percayai itu apakah hanya mitos atau alat propaganda penguasa untuk membodohi rakyat dan menutupi fakta bahwa sebenarnya ada potensi konflik yang begitu besar di dalam tubuh Indonesia? Atau sebaliknya; bangsa Indonesia memang bangsa yang beradab dan kebanyakan kerusuhan serta konflik yang terjadi adalah akibat ulah para politikus yang sengaja ingin memancing di air keruh? Setidaknya demikian Yudi Latief membaca insiden Monas 1 Juni 2008 yang lalu (Gatra 19 Juni 2008).

Dan kalau kita boleh menambah satu “atau” lagi, mungkinkah kerusuhan dan konflik yang terjadi tersebut adalah rekayasa kekuatan asing untuk melancarkan agendanya sebagaimana diakui oleh John Perkins dalam Confessions-nya?

Begitu banyak pertanyaan, dan jawabannyapun tak kalah berbilang. Yang pasti, Fenomena Indonesia adalah keajaiban. Lebih dari tiga ratus etnis dengan tiga ratus bahasa dan enam ratus dialek, dengan beragam agama dan kepercayaan juga budaya, serta tersebar di atas ratusan pulau – ribuan pulau belum dihuni, bahkan ribuan yang lain belum dinamai -- bisa diyakinkan untuk menjadi satu bangsa; Indonesia.

Tak ada negara yang lebih kompleks dari Indonesia. Juga tak ada yang lebih kaya dari Indonesia. Pada era kolonialisme, Eropa menganggap Indonesia adalah harta karun paling berharga, melebihi negeri manapun termasuk benua Amerika. Ketika Columbus memulai pelayaran pada 1492, bukan benua Amerika tujuannya tapi Indonesia (bukan India). Namun mengurus keberagaman dan kekayaan adalah hal yang sangat sulit sehingga Soekarnopun merasa bahwa mengusir belanda lebih mudah daripada memimpin Indonesia (John Perkins: Confessions of an Economic Hitman, 2004 hal. 20-21).

Meskipun demikian, boleh kita katakan pluralisme di Indonesia secara umum tidaklah buruk. Sebagian besar kerusuhan yang terjadi di Indonesia berlatar belakang politik. Jika dilihat secara mendalam, hampir tidak ada kerusuhan yang murni berlatar belakang SARA.

Amerika Serikat yang mengaku sebagai panutan demokrasi memilki catatan yang tak begitu baik mengenai kekerasan terhadap etnis dan penganut agama minoritas – tanpa latar belakang politik. Sebagai negara yang mempopulerkan konsep teologi pluralis dan dialog interfaith, Amerika juga bukan bangsa yang mengamalkannya dengan baik. Diana L. Eck menyindir orang Amerika dengan mengatakan bahwa meskipun setiap orang Amerika memegang coin dengan motto E Pluribus Unum – out of many One, orang Amerika masih bingung memaknai kata plrualisme. Meskipun banyak orang Amerika yang mengenal nama-nama agama, namun hanya sedikit yang benar-benar ngeh (Diana L. Eck: The Challenge of Pluralism, Nieman Reports "God in the Newsroom" Issue Vol. XLVII, No. 2, 1993).

Adapun kekerasan dan kerusuhan di negeri kita kebanyakan terjadi karena kita terlalu mudah dibodohi. Kita mudah ditunggangi dan cepat sekali termakan hasutan. Kebodohanlah ancaman terbesar pluralisme serta persatuan dan kesatuan Indonesia. Saya masih percaya Bhinneka Tunggal Ika bukan mitos. Banyak momen ketika rasa nasionalisme kita tergugah dan kita mampu bersatu sebagai bangsa Indonesia despite perbedaan agama, kepercayaan dan suku.

* Dimuat dalam jurnal Afkar PCINU Mesir

8 Comments:

Blogger seezqo said...

By the way, gimana pluralisme di Mesir ?

Di Indo banyak yg pro tapi banyak juga yg antipati alias takut sama ide tersebut.

6:06 AM  
Blogger Alex Ramses said...

kalau pluralisme dalam arti toleransi dan kerukunan, lumayan. kalau pluralisme seperti yg dikehendaki oleh john hick dan diana yg bersifat peleburan, saya kira dimanapun umat islam apalagi katolik menentangnya, dan memang tidak perlu. saya sendiri memahami kekhawatiran MUI dan gak menyalahkan mui kalau mereka mengharamkan faham pluralisme. salam kenal om seezqo, dan selamat lebaran.

6:41 AM  
Blogger Fajar Indra said...

Menurut saya (benerin ya kalo salah... hehehe) mungkin yang sampean maksud itu pluralitas, bukan pluralisme. Pluralitas adalah sebuah kondisi, sementara pluralisme adalah sebuah paham.

Saya sendiri sangat mendukung pluralitas, tapi kayaknya nggak mendukung pluralisme deh, karena lakum dinukum waliyadin.

^_^

11:08 AM  
Blogger Alex Ramses said...

makasih comment-nya om fajar, yagn saya maksud memang pluralisme sebagaimana artinya dulu; toleransi dan teposeliro serta menerima keadaan pluralitas, bukan religious pluralism seperti yang dikehendaki john hick sebagai semacam peleburan dan interfaith yang saling mengisi kebenaran itu.

itu kan pembajakan istilah namanya. kenapa pluralisme jadi harus berarti faham peleburan dan interfaith yang konyol begitu? aslinya kan gak begitu.

1:04 PM  
Blogger FARMASI_JANTEN said...

Om Alex, sering2 nulis dong biar aku tambah pinter. Aku suka ide2 kamu. Semoga negara kita tambah tentram dng pluralisme yg benar.

1:08 PM  
Blogger Mamah Ani said...

saya terkesima baca kalimat : " manusia tak akan pernah mampu mengerti tentang Tuhan "

kenapa?
karena berulang kali si akang suka bilang, jangan sok tahu, jangan sombong, jangan takabur merasa tahu maunya Tuhan,merasa paling pas menerjemahkan maunya Tuhan

Allah itu, sungguh luarrrrr biasa,
kita nggak akan pernah mampu menerjemahkan bulat bulat maunya Allah, nggak mampu kita, bener bener nggak mungkin mampu

menitik airmatanya kalau inget kebesaran Allah, bahkan membayangkan seberapa besar kebesaranNya pun, kita nggak mampu...

salam

4:23 AM  
Anonymous Elis said...

tulisan yang bagus...Ditunggu tulisan selanjutnya!

9:07 AM  
Blogger Othman Draman said...

Besnis produk kesihatan myherb2u
Goji, tricajus, susu kambing, mlm call +60192311900
http://www.healthbuilders.com.my/
othmandraman@yahoo.com
http://othmandraman.blogspot.com/?m=1
http://www.dnaglobal2u.com/
http://www.iphytoscience.com/
http://www.drtina.mynucerity.biz/indexi.php
https://www.google.com/#fp=eccba6f7b5b00530&q=myherb2u
https://www.google.com/search?q=myherb2u&filter=0&bav=on.2%2Cor.r_cp.r_qf.&bvm=bv.50952593%2Cd.bmk%2Cpv.xjs.s.en_US.epv7Gxs5zsU.O&biw=1366&bih=667&um=1&ie=UTF-8&hl=en&tbm=isch&source=og&sa=N&tab=wi&ei=JrwTUt6VB4K4rAeI-YHQDA
Kedai P01 pasar majlis sek16 shah alam, selangor, malaysia
Rakan niaga/penyewa/pekerja diperlukan
Kursus motivasi besnis disediakan
Stokis/pegedar diperlukan
Pakej melancong Kelantan/Selatan Thailand disediakan
Rumah dijual diSubang Suria,Shah Alam
Kelas mengaji Al Quran disediakan
Welcome to Health Builders (M) Sdn.
www.healthbuilders.com.my
Syarikat jualan langsung unggul yang membawa kepada anda satu kerjaya … untuk terus berjaya. Nikmatilah kehebatan rangkaian produk dan keistimewaan pelan pemasaran kami untuk kehidupan yang lebih bermakna.

10:19 PM  

Post a Comment

<< Home

Site Meter