<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d28922767\x26blogName\x3dOrang+Indonesia\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLACK\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://yamadhipati.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://yamadhipati.blogspot.com/\x26vt\x3d-7363143692875508944', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Friday, November 24, 2006

Thus spoke hanara

Problematika komunitas-komunitas kita memang sangat pelik, namun kepelikan itu tidak serta-merta berarti ketidakberdayaan untuk bisa kembali merekonstruksi corak dan klasifikasi peran komunitas-komunitas tersebut. Klasifikasi peran tersebut mungkin bisa diawali dengan angan akan terciptanya dua mainstream besar yang akan bermain di ekosistem Masisir ini. Dua mainstream besar itu tak lain adalah mainstream ke'pelajar'an yang mengurusi segala hal terkait dengan lajunya proses akademis dan mainstream kemasyarakatan yang menangani urusan-urusan semacam TEMUS, Zakat, Camaba dan sebagainya.
Demikian hanara bersabda!!!
***************
Sebenarnya saya tadi ingin menulis Comment di blog hanara, tapi kok terlalu panjang, akhirnya gak jadi dan saya posting di sini.

Banyak faktor yang menyebabkan perilaku masisir (mahasiswa Indonesia di Mesir) seperti yang kita lihat selama ini. Meskipun baik atau buruk, kegagalan atau keberhasilan, semuanya kembali kepada kualitas diri masing-masing, namun setidaknya menurut observasi saya faktor-faktor di bawah ini memiliki pengaruh yang tidak kecil.

Faktor pertama, kekecewaan masisir melihat lingkungan dan kondisi sosial negeri seribu menara ini. Kebanyakan masisir sebelum berangkat ke sini membayangkan dirinya akan kuliah di luar negeri. "Kuliah di luar negeri" is kind of luxury that not all Indonesian can indulge. Kuliah di laur negeri adalah sesuatu yang "Wah". Dari sini masisir membayangkan hal-hal yang indah mengenai kehidupan yang akan dijalaninya nanti di Mesir. Nama besar Al Azhar dan negara arab menuntun imajinasinya untuk membayangkan sebuah sistem dan lingkungan belajar yang unggul.

Namun hal yang sangat bertolak belakang dengan hayalan segera dilihatnya pertama kali menginjakkan kaki di negeri seribu menara ini. Banyak calon mahasiswa kita shock melihat keadaan kota kairo. Saya sendiri selama beberapa bulan pertama di sini merasa seolah-olah sedang terjebak dalam sebuah mimpi buruk. Melihat keadaan sekitar sungguh asing, gersang, kotor, hampa dan banyak hal-hal lain yang membuat kita stress. Bahkan ada kawan yang sempat bertanya kepada senior: " Mesir ini habis perang ya?". Tidak heran jika kita mendengar seseorang bertanya demikian. Jika anda datang dari negara manapun yang sedikit beradab, anda akan kaget melihat negeri ini. Kotor, kuno dan berantakan, itulah kesan yang saya rasakan. Ini terjadi pada saya yang sejak di Indonesia sudah diberitahu oleh tante saya mengenai amburadulnya kota Kairo. bagaimana dengan mereka yang tidak dibekali informasi mengenai Kairo? Betapa kecewanya mereka yang "ditipu" para broker yang selalu menceritakan keindahan-keindahan mengenai kuliah di Mesir?

Faktor kedua berhubungan erat dengan faktor pertama. Negara dengan keadaan sosial dan lingkungan seperti di atas tentu saja tidak mungkin diharapkan memiliki sistem administrasi yang masuk akal. Mengurus segala tetek bengek yang berhubungan dengan pendaftaran, kartu mahasisa, visa sampai mencari apartment di sini sungguh membutuhkan kesabaran setaraf wali. Peralatan dan sistem yang lebih tradisional dari jaman batu serta karakter orang Mesir yang sedikit lebih baik di atas binatang semakin menyuburkan kejengkelan, kemarahan, kebencian dan kekecewaan mahasiswa baru.

Faktor ketiga adalah perasaan tidak betah berada di kampus. Berada di kampus berarti bertemu dengan mahasiswa baru asli Mesir yang menjengkelkan, berurusan dengan birokrasi, antri berjam-jam, sistem amburadul yang seolah-olah bukan diciptakan oleh manusia. Keadaan lingkungan kampus yang seperti kandang binatang dengan segala keruwetannya dan berbeda sama sekali dengan yang dibayangkan oleh mahasiswa baru membuat mereka memilih untuk tidak menyambanginya kecuali untuk mengikuti ujian. Rasa tidak betah di kampus, kebencian dan prasangka buruk terhadap orang Mesir ini berlanjut sampai mereka duduk di tingkat akhir kuliah. Akibatnya, masisir tidak menguasai bahasa Arab karena enggan berhubungan dengan orang Mesir.

Inilah yang menyebabkan masisir mengisolasi diri dari lingkungan orang Mesir. Bergaul hanya dengan sesama masisir atau mahasiswa asing lainnya. Membentuk komunitas sendiri dan menjalankan kehidupan layaknya mereka hidup di Indonesia lengkap dengan kepala pemerintahan (PPMI), DPR dan MPR-nya. Pada gilirannya, organisasi pelajar ini terpaksa mewadahi organisasi-organisasi kedaerahan, juga lengkap dengan Bhinneka Tunggal Ika-nya. Kegiatannyapun tidak lagi fokus pada masalah-masalah akademik. Komunitas masisir ini telah menjelma menjadi Republik Indonesia kecil di Mesir. Bahasa yang digunakanpun bahasa nasional Indonesia sebagai bahasa resmi dan bahasa daerah ketika berada dalam lingkungan organisasi kedaerahan. Pokoknya persis dengan RI yang asli. Organisasi afiliatif semacam NU, Muhammadiyah, Persis, Icmi, bahkan partai politik juga ada. Lengkap. Benar-benar memboyong Republik Indonesia ke mesir. Lucu? Certainly not, it's disgusting.

Fenomena semacam ini disebebkan oleh faktor keempat, faktor yang paling penting yaitu, ketidak mampuan masisir beradaptasi dengan lingkungan dan menerima kenyataan. We made the choice, we have to finish what we have started. Kalau memang tidak betah dan tidak bisa menerima keadaan, mundur saja. Balik kampung.

5 Comments:

Blogger Desi Hanara said...

Hmmm... Certainly great comment :)

8:31 PM  
Blogger Pangapora said...

and this is: THUS SPAKE ZALEXTHUSTRA :D!

8:49 PM  
Blogger Han said...

so, solutions are ?

7:22 AM  
Blogger Doel Dal said...

Kalau udah gini mau gk mau kita memang harus perang?..kakakkakakk...

8:07 PM  
Blogger fuddyduddy said...

peraaaaaaaaaang!!
eh, keren tahu gak, baik punya hanara maupun tanggapan om alex. aku mungkin satu diantara sekian banyak Masisir yang samapi sekarang belom nyadar juga
kalau seharusnya kita, "berperang."

3:08 AM  

Post a Comment

<< Home

Site Meter