<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d28922767\x26blogName\x3dOrang+Indonesia\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLACK\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://yamadhipati.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://yamadhipati.blogspot.com/\x26vt\x3d-7363143692875508944', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Thursday, November 16, 2006

Kuliner

What comes to your mind when you think about Japanese food? Hampir semua orang tanpa perlu berpikir panjang bisa menyebut kata Sushi. Apakah Sushi rasanya enak? Untuk lidah kita, jawabannya tentu saja tidak. Tapi kenapa banyak orang mengunjungi restoran Jepang? Hal yang sama juga terjadi ketika kita mendengar kata restoran Thailand. Yang muncul di benak kita pertama-tama adalah Tom Yam atau Pattaya. Tapi hal seperti ini tidak terjadi ketika kata Restoran Indonesia kita perdengarkan kepada telinga orang asing. Kenapa? Bukankah kita memiliki beribu2 jenis makanan dari berbagai daerah di Indonesia dengan rasa yang tak kalah sedap dibandingkan masakan Jepang ataupun Thailand? Orang asing pada umumnya tidak punya Idea menu apakah yang akan dipesan ketika diajak makan di Restoran Indonesia. Ini tejadi karena Restoran Indonesia tidak memiliki Brand Image.

Masyarakat modern adalah sekumpulan itik yang bisa digiring selera dan pendapatnya dengan menggunakan media dan iklan. Selera mereka adalah selera media. Apa yang dikatakan keren oleh trend setter, akan mereka ikuti. Orang yang makan di Restoran Jepang belum tentu merasa puas dengan rasa makanannya, tapi merasa keren. Demi kekerenan ini merekapun memaksakan diri untuk pura-pura menyukai makanan Jepang. Betapa banyak orang indonesia yang lebih menyukai rasa nasi uduk atau makanan di Warteg daripada makanan cepat saji Mc Donald. Tapi toh mereka pergi ke Mc Donald lantaran gengsi makan nasi uduk.

Ini menunjukkan betapa strategi yang jitu dalam memasarkan produk sangat diperlukan. kalau produk kita kalah bersaing dan tidak laku, kita tidak bisa menyalahkan kompetitor. Kita perlu mengevaluasi "cara jualan" kita. Kita harus mampu membuat konsumen menyadari "kebutuhannya" akan produk kita. Di sini kita perlu memahami bahwa masyarakat sekarang tidak bisa membedakan mana keinginan dan mana kebutuhan. Atau kita perlu selalu mengikuti perkembangan keinginan-keinginan apa saja yang telah "naik kelas" menjadi kebutuhan. Fashion dan gaya hidup yang pada masa lalu merupakan sebuah keinginan, saat ini telah menjadi kebutuhan masyarakat modern. Atau minimal masyarakat yang latah ingin bergaya modern.

Kita mempunyai begitu banyak produk asli dengan kualitas, rasa dan keindahan artistik tinggi. Mulai dari produk alas kaki, makanan serta garment. Tapi kita tidak pernah mampu membuat porduk-produk tersebut dipandang keren oleh konsumen. Ini masalah pencitraan dan imej. kalau anda memeprhatikan Steve Vai, gitaris kondang itu selalu memakai batik dalam setiap konsernya. Batik menjadi kelihatan elegan dan keren ketika dia pakai. Kenapa sampai sekarang kita tidak bisa membuat batik terkenal dan mendunia? Padahal Jeans yang sangat mendunia dan menjadi trend di seluruh jagat itu dulunya hanya pakaian untuk para pekerja tambang.

Dalam hal masakan Indonesia, masalahnya lebih rumit lagi. Selain kurangnya iklan dan ketiadaan upaya menggiring selera konsumen, ada masalah lain yang sangat serius. Restoran Indonesia di luar negeri tidak mampu membangun sebuah brand image lantaran ketiadaan "konsensus" mengenai makanan apa yang harus dijadikan gacoan. Banyaknya ragam makanan Indonesia dari berbagai suku di tanah air membuat para pengelola Restoran Indonesia di luar negeri tidak memiliki menu seragam. Ini pada gilirannya membuat bingung orang asing. Bahkan rasa dari setiap makanan yang samapun bisa berbeda-beda. Ada yang cenderung manis jika yang jualan adalah orang dari Jawa tengah. Asin jika yang jualan orang dari Madura. Dan pedas jika yang jualan adalah orang dari Padang. Banyak sekali orang asing yang telah makan di sebuah Restoran Indonesia di suatu kota menyukai masakan Indonesia. Tapi ketika dia berada di kota lain dan menemukan Restoran Indonesia, dia tidak menjumpai menu yang pernah dia jumpai di Restoran Indonesia yang dulu dia kunjungi. Atau kalau dia menemukannya, rasanya beda. Ini bagaimana?

Setahun yang lalu saya diajak kawan menonton film Thailand di komputernya dengan judul Tom Yam Gung. Anda yang pernah makan di Restoran Thailand tentu tau apa itu Tom Yam. Apa yang dilakukan oleh pembuat film dengan memberikan judul Tom Yam Gung pada film tersebut sungguh suatu upaya membangun sebuah Brand Image yang hebat. Meskipun Film tersebut sama sekali tidak bercerita tentang cara membuat Tom Yam atau Restoran Thailand. Dari segi rasa, sup Thailand dengan nama Tom Yam ini tidak selezat Soto. Tapi karena dia dijadikan Icon, dia menjadi terkenal dan banyak dipesan orang ketika mengunjungi Restoran Thailand.

Di sini Restoran Indonesia sekali lagi menjumpai kesulitan dalam menentukan masakan apa yang akan dijadikan Icon. Mereka juga tidak membuat suatu "peta" yang jelas tentang apa itu makanan Indonesia. Masakan Jepang, thailand dan China di negara asalanya sana sangat beragam. Tapi yang dijual di Restoran Jepang dan Thailand dan China di seluruh dunia seragam dan terbatas. Rasanyapun tidak berbeda.

Oleh karena itu, para pengelola Restoran Indonesia di luar negeri harus menyepakati pembatasan dan penyeragaman menu dengan terlebih dahulu menyepakati "rasa" apa yang akan dipakai. Menjual Masakan Indonesia di luar negeri harus disesuaikan dengan selera orang asing. Pengelola restoran yang berasal dari Padang jangan memaksakan diri untuk menjual rendang kepada bule atau orang Arab, karena rendang terlalu berminyak dan terlalu pedas. Pun bentuk dan warnanya tidak menarik. Pengelola yang berasal dari Jawa Tengah jangan memaksakan menjual semur daging karena selain bentuknya tidak menarik, semur itu telah kehilangan rasa dagingnya lantaran pemakaian bumbu yang berlebihan.

Seorang kawan saya yang telah berhenti kerja sebagai lokal staff di kedutaan RI di Brussel bercerita kepada saya tentang sebuah Restoran Indonesia di sana yang sedang naik daun. Restoran ini kalau saya tidak salah diberi nama Garuda Indonesia. Gagah namanya. Restoran ini menajdi restoran elit dan dikunjungi para diplomat. Hotel-hotel bintang lima juga telah memasukkan restoran Garuda Indonesia ini dalam daftar rekomendasi kepada tamu hotel. Kawan saya ini bercerita bahwa dirinya diajak temannya orang Indonesia yang Chef Cook di restoran tersebut untuk ikut menjadi koki. Dia mengungkapkan idenya kepada saya untuk membuat beberapa makanan tradisional semacam pempek dan lain-lainnya untuk "memeriahkan" menu yang ada. And I was like Nooo!!! Dia bingung. Saya bilang: "Tanyakeunapa?" Saya mulai memberikan kuliah tentang hal-hal yang saya bicarakan di atas mengenai problem Restoran Indoensia di luar negeri yang tidak pernah bisa keren. Tidak seragam, membingungkan konsumen dan tidak memiliki "peta" menu yang jelas. Saya juga bilang bahwa saya sering jengkel ketika makan di beberapa Restoran Indonesia di Cairo kemudian ada orang Mesir datang dan menanyakan Mutiara atau Pattaya. Mereka taunya makanan Thailand. Sama sekali tidak tau makanan Indonesia. karena bentuk fisik orang Indonesia dan Thailand sama, jadi mereka pikir kita ini orang Thailand, atau kita punya makanan yang sama.

Saya kemudian mengusulkan untuk "mematenkan" menu baku. Buat peta menu. Misalnya untuk masakan daging sapi, buat paling banyak lima jenis masakan. Untuk kambing, cukup Gulai, sate dan tongseng yang rasanya dipilih untuk disesuaikan dengan lidah orang asing. Untuk ayam dan ikan demikian juga, dipilih masakan yang memiliki penampilan paling menarik dan rasanya sesuai dengan selera orang asing. Saya juga mengatakan bahwa pengelola Restoran Indonesia harus membawa semangat nasionalisme sebagai warga negara RI. Bukan mengusung fanatisme suku dan daerah asalnya. jadi jangan sampai dia berusaha menonjolkan makanan daerah asalnya. Kalau semua pengelola Restoran Indonesia membawa fanatisme daerahnya, maka Restoran Indonesia sampai kapanpun tidak akan pernah bisa mendunia.

Saya sarankan juga kepada kawan saya ini untuk menjadikan restosan Garuda Indonesia sebagai contoh kesuksesan Restoran Indonesia di Eropa. Kemudian mendirikan cabang di seluruh kota-kota besar di Eropa dengan menu yang telah dipetakan tadi. Harapan saya, di kemudian hari para pengelola lain bisa meniru pemetaan menu dan pilihan rasa yang dipakai oleh restoran Garuda Indonesia ini. Dengan demikian, para konsumen tidak akan bingung lagi dengan menu yang tidak seragam dan rasa yang terlalu "bhinneka".

Dengan berkelakar saya katakan pada kawan saya ini: " Kalau Boss kamu mau menyewa saya untuk menjadi manager, saya akan membuat restorannya menjadi Restoran Indonesia yang hebat. Akan saya buat iklan besar-besaran. Saya akan membuat semua orang di Eropa bisa menyebutkan satu atau dua nama makanan ketika disebutkan kata Restoran Indonesia. Saya akan membuat semua lidah orang Eropa bisa mengucapkan kata SOTO. kalau perlu saya akan membaut lagu dengan judul SOTO. Dengan dana pariwara dari pemilik restoran, saya juga akan membuat film seperti yang dibuat orang Thailand dengan judul SOTO!!!".

17 Comments:

Anonymous Anonymous said...

maslahnya sebenarnya cuman satu mas alex. orang indonesia itu inginnya selalu berbeda dan berbeda. dalam segala hal, entah menu makanan, entah idul fitri, entah partai, dan entah apalagi, bahkan sholatpun orang indonesia itu tidak mau sama mas Alex, ini sholat padahal?.. kakkakakkkkk.

Hal itu sudah menjadi tren tersendiri di Indonesia, nah kalau sudah begini mana mungkin kita bisa menyeragamkan keinginan, apalagi menu makanan:P. Ini benar-benar saya buktikan ama salah satu org yg punya warung makan di negeri ini. saya iseng nanya, lo kenapa buk kok desain masakan warungnya has ala jawa?, dengan enteng dia bilang, kan di warung sana sudah ada masakan ini, di warung sana lagi juga udah ada masakan yang itu, di warung pojokan sana malah ada ini dan itu. Lah kalau sudah begitu berarti saya harus pintar2 memilih menu warungku yang disemua warung tadi itu tidak ada. nah kesuksesan dengan menyajikan menu makanan yang berbeda dari yang lain ini mas alex, sudah menjadi satu kecerdasan tersendiri bagi mereka, lah kalau sudah cerdas gini mana mungkin mau untuk bisa diajak seperti yang mas alex tulis. ini kecerdasan tersendiri e kata mereka, :p hehheeeee,,,,,,cerdase kakeen pupuk kwkwkwkwkkwkwkwkwkk,,,

10:18 PM  
Blogger Maeasti said...

Kalo kata Bondan Winarno, masakan Indo itu lebih ke fusion antara kuliner Tionghoa/China, Arab en Belanda. Hayyahhh...trusss orang pribumi dapet apa :D

Tapi di beberapa majalah kuliner di Eropa yang aku baca, Indonesian Fried Rice udah wellknown bangedd bgituu, meski yang mempopulerkan seorang chef berkebangsaan Chinese. Bukan Pattaya, bukan Mutiara, tapi Indonesian Fried Rice.......

En bener jugha, yang diperlukan mungkin bukan perubahan rasa (dari asem, manis ato asin). Tapi bagaimana mengatur strategi supaya makanan Indo lebih membumi di luar negri. Seppp...kalo mo bikin pilem judulnya SOTO. RAWON juga bolehhh :D

10:44 PM  
Blogger Faisal Zulkarnaen said...

Witting tresno jalaran soko kuli-ner.....whehehe...kalo Thailand dan Jepang kan gak terlalu banyak macamnya jadi mudah saja, lha kita masakan Jawa aja satu bulan kita gilir tiap hari menunya belum habis apalagi dari ujung Banda sampai Merauke...

2:16 AM  
Blogger Faisal Zulkarnaen said...

Lex, kapan makan di warung belakang Azhar lagi? traktir kita dong.....

2:19 AM  
Blogger Alex Ramses said...

Mungkin beberapa jenis masakan indonesia memang terpengaruh masakan luar. Bahkan banyak pencapaian2 peradaban di dunia ini kan hasil dari kawin silang dan buah interaksi antar kebudayaan. ketika salah satu peradaban menjadi lebih unggul dan menguasai dunia pada masanya, itu karena kecanggihan meramu dan meraciknya.


Saya teringat cerita Harry Lukman, salah satu "Indonesia's man in Washington". beberapa tahun lalu dia mudik ke Indonesia, meskipun ebenarnya dia sudah bukan lagi WNI. Dia udah bawa paspor amrik sekarang. dalam perjalanan pulang, dia mampir di china. di sana dia dianterin jalan2 sama temen kuliahnya dulu di US. temennya ini ingin menunjukkan makanan dan restoran china yang asli. karena kata temannya ini, yang ada di seluruh dunia dan terkenal itu sebenarya masakan china yang dikompromikan dengan penampilan dan selera orang asing. Nah, di sini letak kesuksesannya. Siapa sih yang gak kenal masakan china? MEskipun jumlah masakan china di negaranya begitu banyak - gak kalah banyak dari jumlah masakan indonesia - namun ketika tampil di restoran china di luar negeri, menunya jadi terbatas, jelas dan keren. Tidak seperti aslinya di china sana, Harry lukman nggak doyan dan "ngeri".

Kecerdasan yang dibilang kang Doel dimiliki oleh pengelola restoran indonesia di cairo,,,, justru itu letak kelemahannya. kecerdasan yang bodoh barangkali saya menyebutnya. hasilnya apa? Tidak seperti resto thailand yang dikunjungi banyak orang indoensia, malaysia, brunei , singapore dan orang mesir, Resto indonesia dikunjungi hanya oleh orang indonesia, lebih sempit lagi,,, hanya oleh orang jawa jika masakannya adalah masakan jawa. Berfikir kecil menghasilkan sesuatu yang kecil pula.

kita tidak pernah tau kan, orang mesir masuk ke resto thailand menanyakan soto atau pecel... tapi kita sering banget mendengar orang mesir datang ke warung indo menayakan mutiara. Nah Looo. saya sering jengkel kalau lagi melihat adegan seperti itu. Hidup di dunia yang kita huni sekarang ini, ktia harus punya strategi yang jitu untuk survive, untuk maju, untuk menjadi unggul. Namun nampaknya nalar orang Indonesia - sayangnya -- masih jauh dari situ.

7:26 PM  
Anonymous Anonymous said...

mampir mas...

sbnernya indonesia memang terlahir dengan berbagai keragamannya. namun sayangnya, keragaman ini tidak berhasil diekspos sebagai keindahan dari kehidupan, namun sebagai alat untuk mengekploitasi satu sama lain :)

bayangin aja, malaysia bisa klaim dirinya sebagai "truly asia"... padahal kalau mau dirunut, etnis-agama-budaya-makanan-etc apa si yang ga ada di indonesia? :)

4:53 AM  
Blogger M. Lim said...

Japanese Food:
Saya suka.
Tapi belum mendalami betul. Soalnya banyak yang bilang, di Indonesia ini susah cari yang citarasanya Jepang betul. Saya dengar ada satu tempat yang dijamin Jepang totok. Tapi di Jakarta. Di Summitmas. Entahlah. Suatu hari nanti akan saya dalami betul. Jadi tidak akan bilang "suka makanan Jepang" tapi yang dimaksud Hoka-Hoka Bento. Adaptasi makanan Jepang lidah Indonesia. Kata kawan yang Jepang, nama itu artinya kurang lebih Nasi Kotak Sumuk-Sumuk.

Ampun.

Karena saya dibesarkan oleh ibu yang medok jawa, dan mewarisi selera lidah sebagian besar dari beliau, sebetulnya saya bisa makan apa saja. Lha wong di Jawa ini, sapi dari ujung idung sampai ujung buntut, luar-dalam, semuanya bisa dimakan sampai habis bis bis... Apalagi kalau sudah sampai ke bagian sumsum atau iga... some people I know eat them like there's no tomorrow.

Makanan asli Indonesia:
saya suka

Tapi sedih ya
kalau tidak salah paten tempe atau tahu sudah diambil orang Jepang atau Amerika begitu?

Lalu di Amerika, Krupuk Putih itu, yang kriting-kriting, tersedia di meja makan warteg dan rumah-rumah di pelosok Indonesia itu, dijual sebagai makanan diet dengan bungkus yang sangat eksklusif.
Kok kasihan.

Lebih kasihan lagi orang Indonesia. Pergi ke gerai franchise restauran burger cepat saji, buat makan nasi putih sama dadar telur. Hambar pula itu dadar telur tanpa bawang dan irisan cabe merah besar. When in Rome, speak Latin. When in McD, eat burger. Begitu seharusnya menurut saya. Walaupun burgernya juga tidak enak. Namanya juga dagang merk dan gengsi.
mcD ini inovatif betul lho. Beberapa tahun yang lalu dia sempat membuat menu ajaib. Roti penjepit daging (yang dicurigai bukan 100% berasal dari sapi) itu diganti dengan adonan dari nasi yang dilapis tepung lalu digoreng. Menu itu hanya bertahan sebentar. Saya amati kemudian menu itu hilang. Saya belum sempat dan sepertinya tidak akan tertarik mencobanya. Burger siluman nasi itu dijual dengan kisaran 8000-9000 rupiah. Sinting. Beli nasi goreng warung dengan harga nominal yang sama bisa saya makan berdua, kenyang pula.

Makan burger siluman:
Setahun kurang dari 5 kali sahaja.

Makanan Timur Tengah?
Sebatas martabak mungkin. Paling-paling yang sudah diadaptasi lidah Indonesia saya pernah coba.

Di Bandung ada rumah makan namanya Gampoeng Aceh. Saya gemar ke sana dengan kawan-kawan kalau sedang berkantong lumayan tebal. Gulai kambing dengan rotinya itu sedap.

Makanan Eropa?
ya saya suka juga. Paling mudah dibuat bila saya sedang malas memasak tapi ingin makan masakan sendiri.
Tapi kalau terlalu sering, bikin mual juga.

Makanan "Eksotik"?
Nah ini yang belum...
Saya ingin bisa pergi ke Thailand. Katanya di Chatucak atau pasar apa begitu, ada berbagai macam serangga olahan yang bisa dibeli untuk dimakan.

Kalau hidung, usus, lidah, otak dan kaki sapi saya bisa makan... kenapa serangga tidak?


Monyet Mata Merah
tak semata makan pisang jua

9:25 PM  
Blogger Aris Heru Utomo said...

Sebenarnya ada masakan Indonesia yang bisa dijadikan brand image yaitu nasi goreng, mie goreng dan sate. Masyarakat di Belanda dan Belgia sudah sangat kenal dengan makanan Indonesia tersebut. Bahkan karena sudah dikenal, restoran-restoran Cina dan Vietnam pun seringkali memasukan menu nasi goreng di dalamnya. Kalau gak percaya lihat saja di daftar menunya atau tanyakan ke pelayannya.

Dengan sedikit contoh di atas, saya melihat bahwa masalahnya bukan pada tidak adanya brand image, tetapi lebih kepada kurangnya keuletan dalam mengelola restoran. Orang Indonesia yang mengelola restoran pada umumnya ingin cepat sukses, restorannya dikenal banyak orang dan sering dikunjungi. Padahal seperti pada umumnya, kesuksesan itu merupakan suatu proses. Sebagai contoh, di Brussel banyak warga Indonesia yang tidak berani membuka restoran sendiri meski pintar memasak, mereka lebih senang bekerja pada orang lain atau ”mengamen catering” pada kegiatan2 yang diadakan kedutaan atau masyarakat Indonesia di Brussel. Alasan yang sering kali dikemukakan adalah sulitnya memperoleh ijin dan modal usaha. Mungkin alasan tersebut benar, tapi kalau melihat orang Thailand, Cina dan Vietnam, kok mereka bisa buka restoran sendiri. Jawabannya adalah mereka lebih ulet (bukan ulet bulu lho...). Mereka mulai dari tempat kecil sepetak dengan cuma beberapa kursi dan meja, terus berkembang jadi dua petak dan akhirnya membesar. Nah kalau keuletan saja pas-pasan, bagaimana kemudian mau memikirkan strategi pemasaran dan lain-lainnya.

Mengenai kesuksesan restoran garuda memetakan menu, sebenarnya juga sudah dilakukan oleh beberapa restoran Indonesia di Antwerpen. Tapi ya itu tadi, karena kurang ulet jadi gak bisa lebih maju. Padahal ada keinginan dari pihak kedutaan di Brussel untuk menjadikan restoran-restoran yang menyajikan masakan Indonesia sebagai galeri untuk memperkenalkan Indonesia. Caranya antara lain dengan mengundang rekan2 dari para diplomat Indonesia untuk makan di restoran tersebut. Karena di Brussel cuma Garuda lah satu-satunya restoran dengan menu masakan Indonesia, maka sering kali tidak pilihan lain. O ya, utk sekedar info, mungkin mas Alex sudah tahu, restoran garuda bukan dimiliki dan dikelola orang Indonesia, tapi orang Belgia yang kebetulan bapaknya si pemilik restoran numpang lahir di Sumatera.

Btw siapa nama teman mas Alex yang pernah jadi lokal staf di kedutaan?

12:43 AM  
Anonymous Anonymous said...

ngga cuman masakan indonesia yg sgt beragam n membingungkan. italy juga demikian. kita tidak selalu menemukan lasagna pa restoran pizza atau risoto (ini malah lbh jarang lg). Lagian jika kita ke restoran bali, org pasti menemukan masakan yg namanya dilengkapi dengan kata2 "bumbu bali". Jika pergi ke rumah makan Lombok akan selalu menemukan Pelecing Kangkung. Kalau ke rumah makan padang akan selalu menemukan rendang. Artinya Indonesia memang tidak bs dipaksa hanya memiliki satu brand tertentu saja, karena setiap daerah yang ada di Indonesia memiliki sangat besar perbedaan satu sama lain. pergi ke timur Indonesia Anda akan menemukan suasana yang sangat berbeda dengan bagian barat Indonesia. So...

8:49 AM  
Anonymous Anonymous said...

Info Resep Masakan Indonesia, jajanan pasar, pastry & bakery, Indonesian food.
http://www.kitchens4cooking.com

11:13 AM  
Anonymous Anonymous said...

Info Resep Masakan Indonesia, jajanan pasar, pastry & bakery, Indonesian food.
http://www.kitchen-foods.com

11:15 AM  
Blogger Unknown said...

Betul sekali mas...
Masakan kita itu sebenarnya bisa terkenal kaya masakan thai dan jepang, cuma kurang promosi nya..
Dan mengenai rasa, saya yakin gak kalah kok...asal yg masak asli Indonesia. Karna ada restaurant Indo di Eropa tp yg masak bukan orang Indo jd rasanya rusak,,,,itu jg salah satu yg buat brand masakan Indo jd gak konsisten....
Saya pernah dan sedang mengalaminya di 2 negara Eropa. Kita buka restaurant Indonesia, dan BOOMING....
Tapi pada saat promo nya melempem, retaurant pun ikut down...


SS

1:25 AM  
Anonymous Anonymous said...

kalo bicara makanan indonesia di eropa, khususnya belanda sudah sangat tidak asing lagi....mungkin karena latar belakang sejarah juga...di belanda juga ada restaurant garuda, ada di beberapa kota, tapi ga tau sama pa ga dengan yg di belgia...di beland bahkan banyak resto indonesia yg sudah bisa di golongkan sebagai fine dining... salah satunya di amsterdam di daerah rembrandt gw lupa namany, ada juga di dendolder namanya "anak depok" di amerika sendiri juga uda ada, nama nya "yonos" bisa di cek di google juga...tapi memang blom sebeken resto jepang...di jakarta sendiri juga uda mulai fine dining indonesia bermunculan...memang masi lemah di bidang promosi, tapi keliatannya uda mulai ada perubahan. kalo saya pribadi makan makanan jepang or mc.d bukan untuk gengsi pak....tapi untuk fariasi...hidup butuh fariasi pak...begitu juga makan....ga mungkin saya makan nasi uduk sepanjang hidup ini...lagi pula makan makanan lain juga kan untuk proses pembelajaran juga...intinya ga semua orang makan makanan luar untuk sekedar gengsi...

6:13 AM  
Blogger Unknown said...

Hai,

Saya sanget tertarik dgn konversasi ini. Saya ingin meninkat kasadaran masakan Indonesia di Australia mulai business to business then business to consumer. Saya telah discussed konsep ini dgn Departemen Perdagangan Indonesia. Ada yg mau ikut proyek ini dgn saya? Apakah perusahaan anda punya masakan untuk export misal. kaleng, nasi bunkus, seasonings, spices...munkin atau apakah Anda suatu chef yg pintar masak dan bicara dlm bhs English - perlu confidence untuk promoting Indonesian food kepada Australian audience. Email me direct donk. Miriam Tulevski: mtulevski@apmd.com.au Yes, I'm Australian yg pernah tinggal lama di Indonesia

1:27 PM  
Anonymous Anonymous said...


salam kenal mas...saya baru seminggu ini tinggal di cairo tepatnya di nsser city..baru seminggu udh kangen masakan indonesia..kalo boleh nanya masakan indonesia di daerah nssr city ada dmn ya mas?saya bru pertama kali ke egypt soalnya...terima kasih bantuannya

9:07 AM  
Blogger Alex Ramses said...

Mas Sunar, semoga yg punya resto yg anda ceritakan iu terbuka hatinya untuk menyewa koki Indo beneran, biar rasanya mantab :P Resto yang down itu dilanjut doong, cari strategi baru, jangan nyerah, saya doakan sukses :)

Miriam: Maaf saya aru lihat comments di sini, jadi baru bisa kirim email. Thanx.

3:41 PM  
Blogger Matafanaku said...

Setelah membaca postingan ini, saya mendapat sedikit pencerahan tentang apa yang harus saya katakan di depan kelas mengenai masalah-masalah pada proses branding... Terima kasih

1:03 PM  

Post a Comment

<< Home

Site Meter